Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2020

Perkuliahan: Jika Aku Bisa Bertemu Kamu 4 Tahun Lagi [Semester 4]

  "Dalam setiap kehidupan, ada titik dimana semuanya berubah. Apa yang kamu ketahui selama ini, dibalikkan pada tingkat dasarnya." "Bagiku, siklus kehidupanku seringkali berosiliasi setiap 3 tahun sekali. Entah, hanya persepsiku saja. Kehidupan tidak sesingkat itu dalam siklusnya, seharusnya." Semester dengan masa tersuram. Sebagai pembukaan, saya akan berikan informasi IP saya di semester adalah 2,74. Sebagai tambahan, nilai saya dua semester di atasnya adalah di atas 3,60. Ya, saya mahasiswa cap perfeksionis ambisius. Dengan kata lain, satu semester ini mengombang-ambingkan semua ambisi saya. Di saat bersamaan, banyak privilege yang harus saya serahkan kembali. Orang tua memberlakukan restriksi yang ketat, mengurangi gerakan saya pada tahap ini. Sebut saja konsekuensi saya tidak bisa menjanjikan akademik yang setara dengan privilege tersebut. Pada tahap ini, saya hanya bisa mengambil 19 sks. 16 sks saya ambil, dan awalnya saya mempertimbangkan mengulang 1 mata kul

Perkuliahan: Jika Aku Bisa Bertemu Kamu 4 Tahun Lagi [Semester 3]

 Semester paling laknat. Semester dengan IP paling amblas. Itu gambaranku terhadap semester ini. Aku benci, sangat benci. Semester dimana sosialku ikut hampa, dengan sedikit arti yang baru bermakna pada tahun-tahun yang akan datang. Kita memulai dengan lolos acara jumper  di akhir semester kedua. Setelah keberhasilan dan sedikit ekstra episode, aku menyabet nomor himpunan, memberikanku kesempatan berkembang di organisasi mahasiswa -yang kelak aku sadari tidak sesuai diriku- dan juga terlibat aktif dalam himpunan. Semester ini dimana kebebalanku dimulai. Aku yang hanya pernah skip  1 kali dalam 2 semester pertama kuliah karena ketiduran -lengkap dengan seluruh rasa bersalahnya- justru dengan entengnya meninggalkan kelas hingga jatah maksimal: 3x pertemuan. Pada akhir kuliah semester 3 ini, semuanya sudah jungkir balik. Mulai dari himpunan, setelah diikutkan pada tim dan mulai terlibat prosesnya yang tersekat dekrit bapak yang terpuji rektor (dengan segala hormat, nada sarkasme ini dituj

Perkuliahan: Jika Aku Bisa Bertemu Kamu 4 Tahun Lagi [Semester 2]

 Aku tidak mau membahas banyak dari semester-semester awal. Pertama, terlalu banyak pilu di dalamnya bagiku yang tidak ingin aku singgung. Bagiku, banyak kekecewaan di semester pertama, dan juga kedua dan ketiga. Semester keempat adalah awal dari titik balik. Kekecewaan, kebodohan, keraguan, dan ketidakbergunaan. Katakan saja aku self-loathing . Bagaimanapun, proses gila yang aku bahas di semester pertama terus berlanjut. Situasi mulai masuk mencekam. Fase kegilaan dari proses ini sudah tiba, dan semua adalah perkara waktu. Lolos atau terbuang. Aku tidak ingin menggunakan terminologi lokal, tapi mungkin dua kata ini akan sangat umum bagi mereka yang tahu lingkungan yang aku maksud: diangkat atau jumper . Tahap semester kedua nyaris membuatku gila, nyaris membuatku berakhir pada self-harm  di tahap-tahap akhir. Kondisi sosial dengan salah satu temanku yang retak juga tidak membantu diriku. Dan karena tahun ini pula, aku tidak suka kala orang sekitarku membahas self-harm . Yang paling me

Perkuliahan: Jika Aku Bisa Bertemu Kamu 4 Tahun Lagi [Semester 1]

Tulisan ini dibuat sepenuhnya dengan kepingan memori yang masih bersisa di dalam benak. Sebagaimana memori pada umumnya, kemungkinan besar ada event  yang tidak 100% akurat dengan dunia nyata. Begitulah segala recount  yang aku ketahui, sometimes they are not most accurate of an event retelling . Semester pertama, ya begitulah. Semester dimana kita jadi maba dan diteriak-teriaki, dihina-hinakan, dan seribu satu kerendahan lainnya. Oh, tidak membantu fakta bahwasanya kampusku adalah kampus dengan sistem yang paling keras, setidaknya menurut sebagian pihak yang mengklaim. Fakta bahwasanya jurusan, ralat, himpunan, yang aku ikuti adalah yang kedua terkeras -katanya- tidak membantu sama sekali. Namun, terlepas dari itu. Ada satu kepingan lain dalam dunia kuliah ini yang aku pegang di awal. 4 tahun lulus, demi sebuah kalimat abstrak yang hari ini, kala aku menulis ini, sudah tidak bisa aku ingat lagi apa benar terlontar atau tidak. Setidaknya, hal abstrak yang kebenarannya saja ku ragukan m