Daffa Abiyyu Blog

"The paradise may be beyond my reach." "Savor it for me." -Blade, Honkai Star Rail A word stated by a fictional character that for some reason weirdly resonates with me. For his case, it is the fact that the character cannot die thus cannot pass to the next life, hence "the paradise" being out of his reach. For my case, it is more along the lines of there are things that feels out of reach. Slowly, I think I should try to think of the things that I feel out of reach in a way these two quotes are written. Trying to help other attaining their dreams that I feel out of reach. Taking the joy of seeing other success and discard the winds of envy that keeps hounding me. Trying to accept what is out of reach and take focus on what can be reached. I know it is not the intention of these quotes, however, taking a word and getting positive contexts out of it is weirdly something I sometimes do. This is just one of them.

 After one talk with a someone whom I used to hold a feeling for, I come to a weird realization that my love life has been one giant ball of an experience bag with lots of mess and seems to be one of the few things that encircles me in the past instead of moving forward. The other thing on that encircling is the deeply rooted masked emotions in my soul, which some of it has been written in previous diaries. It's weird, there's content, yet the feeling of helplessness is also heavily present. The conclusion that I might be stuck in this rotten circle is a helpless realization that I am somewhat content with. For once, I am considering reviewing all my love life as much as possible out of it. Oftentimes, it's just overthinking on my end, but let's get started. First of all, DE is the first name on the list. A friend in early junior high. After all these years, I still cannot forget this name when talking of my love life history. Probably since this one has the most terrib

"Pendidikan untuk semua orang." "Pendidikan seharusnya gratis!" "Pendidikan seharusnya bisa diakses semua kalangan!" Ya, satu sisi idealisme yang berteriak kala menyaksikan susahnya golongan tengah ke bawah mengakses pendidikan. Tidak salah berpikir idealis demikian. Toh, nyatanya ada negara yang bisa mewujudkannya (dengan sebuah TAPI yang besar). Di sisi lain, realitanya adalah harga pendidikan tidak murah. Sistem kapitalisme telah merambah ke akar pendidikan, membuat setiap jenjang bukanlah hal yang mudah diakses oleh sebagian golongan. Suatu permasalahan yang sekilas harusnya beres karena UU menjamin pendidikan yang layak.  Hanya saja, rumitnya bukan di sana semata. Pendidikan gratis maupun berbayar menghadirkan sebuah konondrum yang rumit kala diperhatikan dengan jeli. Tidak perlu jauh-jauh. Banyak sekali sekarang pendidikan untuk sebagian keilmuan bisa diakses dengan mudah bahkan tanpa merogoh kocek sedikit pun. Nyatanya, banyak yang menganggap remeh-

Jurusan paling legendaris di Indonesia adalah Pendidikan Dokter. Sebenarnya, jurusan lain juga bernilai keilmuannya, tetapi apabila kita membahas calon menantu idaman, salah satunya adalah Dokter. Saat kebanyakan kampus mematok harga 20-200 juta-an untuk jurusan lain yang mereka naungi, Pendidikan Dokter bisa dipatok hingga 1 Milyar. Kedengarannya gila, tetapi inilah kenyataan lapangannya. Sebuah kapitalisme yang berpusat di jurusan Pendidikan Dokter. Salah satu kampus ternama di Indonesia yang baru saja membuka Pendidikan Dokter langsung mematok 150 juta uang masuk minimal, menciptakan polemik di beberapa kalangan. Di sisi lain, minat langsung terbangun karena jurusan ini, ya, tidak salah lagi, Pendidikan Dokter. Jurusan super prestisius idaman menantu. Ketidakterjangkauan dari Pendidikan Dokter hadir dari beberapa permasalahan yang kompleks yang ujungnya adalah ketidaksetaraan peluang. Ketidaksetaraan ini sendiri sudah hadir di jurusan lain, tetapi saat kita membahas Pendidikan Dokte