Mengubah Takdir Negeri Peri Bab 1

 


Bab 1: Melawan Tangan Takdir

Pedang yang berselimut energi petir dan angin milik pria dengan penampilan wajah di usia 30-an itu sedang beradu kekuatan dengan pedang angin milik remaja pria berusia 16 tahun. Sang pria yang baru saja menumpahkan darah tujuh orang remaja, empat pria dan tiga wanita, dan remaja di depannya ini sedang melindungi dua teman wanitanya yang terluka, tetapi masih hidup.

Pakaian pria penyerang itu bersimbah darah. Pakaian kemeja berwarna hitam dengan laba-laba merah itu sekarang lebih banyak merah dibanding hitamnya, terbalik dari momen awal dia menyerang. Tidak satu patah kata pun terlontar dari mulutnya selain mantra serangan selama pertarungan, menciptakan kesan haus darah dan misterius dari kehadirannya.

Sementara sang remaja pria mengenakan sebuah jaket hijau dengan kemeja putih di dalamnya itu juga lumayan berdarah dari beberapa tebasan pria yang menyerang dirinya dan teman-temannya. Bahkan, pria itu berada di ujung kesadarannya. Dia sudah beberapa kali menahan serangan pedang elemen angin maupun petir dari pria yang berada di depannya itu.

Kali ini pun, sang remaja pria berhasil menahan serangan pria berwajah 30-an tahun itu. Serangan yang bahkan sang remaja ragu bisa halau dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Remaja itu terengah-engah menahan gejolak energi yang tidak pernah dia hadapi di akademi selama ini. Bahkan, latihan tingkat tinggi di akademi saja tidak ada apa-apanya dibandingkan satu serangan ini.

Hanya karena nekat dan tekad melindungi dua remaja wanita di belakangnya dia bisa terus menahan gejolak energi dari pedang dua elemen itu. Remaja itu merasa tubuhnya nyaris mencapai titik patah, dimana dia jelas akan ditebas mati oleh pria di hadapannya jika serangan ini tidak berhenti sebelum dia kehabisan tenaga.

“Kau orangnya,” ucap pria itu yang membuat remaja pria berwajah 16 tahun itu terkejut mendengar kalimat pria itu. Itu adalah kalimat pertama yang mereka dengar dari sang pria semenjak pria itu tiba-tiba menyerang mereka di ujian ruang terbuka akademi.

Pria berwajah 30 tahunan itu menghentikan serangannya dan langsung melompat mundur, menciptakan jarak antara dirinya dengan tiga remaja yang belum dia akhiri hidupnya. Remaja pria itu menatap tajam ke sang pria, berwaspada dengan serangan berikutnya. Dia tahu dia tidak akan bisa menghalau serangan apapun setelah ini. Bahkan, remaja pria itu bergetar.

Tangan kanan sang pria berwajah 30 tahunan itu memposisikan pedangnya ke dekat wajahnya, sementara tangan kirinya mulai membuat gestur menyapu satu sisi bilah pedang yang membuat energi petir mengamuk di pedang itu.

“Cukup, Lian. Tuan Alluin tidak ingin ada penyimpangan sama sekali.”

Tiga remaja yang masih hidup dan pria yang menyerang mereka melihat ke arah sumber suara yang berada di belakang sang penyerang. Seorang pria dengan pakaian kemeja berwarna putih dengan jas coklat muda berjalan ke arah sang penyerang.

Sang penyerang yang mendengar kalimat itu menurunkan pedangnya, memahami instruksi yang diberikan oleh pria berkemeja itu dan membalikkan badannya. Sang remaja pria ingin berteriak marah pada pria misterius yang baru saja membunuh tujuh rekan timnya tanpa penjelasan apapun. Penyerang itu pikir dia bisa seenaknya membunuh tujuh orang yang datang bersama remaja pria itu dan dua teman wanitanya lalu cabut begitu saja?

“Siapa kalian!? Kenapa kalian membunuh teman-teman kami!?” hardik remaja pria dengan intonasi sangat tinggi. Sang pria yang menyerang mereka, yang diyakini bernama Lian, hanya mengabaikan teriakan remaja itu. Salah satu remaja wanita yang masih bertahan, sibuk dengan membekukan tangan remaja wanita lainnya yang terluka parah untuk menghambat darah yang menyusur keluar, berteriak ke remaja pria itu.

“Cukup, Rafa! Jangan memaksakan jawaban sekarang!” tegur remaja wanita itu. Remaja pria bernama Rafa itu langsung menoleh ke arah remaja wanita yang menegurnya itu, tidak membalas teguran tetapi hanya bertatapan sesaat sebelum kembali melihat ke arah Lian dan pria dengan jas coklat muda.

Pria berjas coklat itu menoleh ke arah Lian sang penyerang, membisikkan sesuatu yang tidak bisa di dengar jernih oleh Rafa maupun teman-temannya, sebelum kembali melihat ke arah Rafa dan teman-temannya. Sebuah sorotan sangat tajam, tetapi ketiganya merasa seakan pernah melihat sorotan itu di satu masa hidup mereka yang masih sangat pendek. Bagaimana bisa sorotan pria berjas coklat itu menjadi sangat familiar?

“Namanya Lian. Aku Zahar. Kami adalah Tangan Takdir.”

Rafa dan dua temannya terkejut mendengar sebuah nama yang sangat familiar lagi terasa sangat mustahil untuk di dengar. Tangan Takdir? Bukankah itu adalah organisasi yang diburu oleh seluruh dunia manusia dan peri selama ribuan tahun?

Ribuan pertanyaan langsung menyerbu benak Rafa dan kedua temannya. Untuk apa Tangan Takdir membunuh peri-peri muda seperti mereka? Usia mereka bahkan terbilang masih sangat muda. Belum lebih dari dua dekade mereka hidup dan sekarang mereka berkonfrontasi dengan organisasi paling diburu oleh dua negeri besar.

“Kalian adalah orang-orang yang dipilih oleh Alluin,” ucap pria bernama Zahar itu lagi. Zahar kemudian membalikkan pandangannya dari tiga remaja itu. Tiga remaja pernah mendapatkan pelajaran terkait organisasi penjahat di tahun terakhir akademi sebelum ujian-ujian dimulai. Tangan Takdir selalu berkaitan dengan seorang individu misterius bernama Alluin. Konon, dia disebut-sebut sebagai seorang dewa karena bisa meramal masa depan. Apakah bisa dikatakan mereka dipilih dewa?

“Rafalath, Athemyra, Vanya, nasib kalian hari ini dan kelak kemudian adalah apa yang Alluin telah prediksi. Kalian yang terpilih.”

Zahar kemudian melangkah pergi, meninggalkan ketiganya dengan luka-luka yang mereka hadapi. Rafa bernapas lega dan melihat ke arah Athemyra dan Vanya, menyaksikan dua temannya itu masih aman sebelum akhirnya terjatuh karena kehabisan tenaga.


Baca kelanjutannya di Karya Karsa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[HOAX] Pesan Juru Kunci

Daftar Enzim Pencernaan, Letak dan Fungsi

Essay Penerapan UU ITE di Indonesia